Senin, 01 Agustus 2016

Kepingan Ketiga -- Mata Senja


Surya kembali meredup, merangkak perlahan menuju peraduan dan aku masih belum beranjak dari dermaga pulau ini.
Limbung debur ombak yang mengayunkanku terbuai menatap mata senja tahta langit dengan selendang jingga yang terurai mengiringi kepulanganya keperaduan, memanggil teman lama sang pekat untuk kembali berganti. Dan aku masih disini, terpaku oleh pesona teduh mata senja ini. Nyayian angin bersama selendang pulau ini menjadi belaian yang merisaukan jiwa. Bukan waktuku untuk berlabuh, bukan waktuku untuk menetap di pulau ini. Tapi teduh mata senja dari dermaga ini bukan sesuatu yang mudah untukku melupakan.

Ketika surya beriring mengusir pekat, aku telah rindu dengan senja. Tak ada yang kunantikan selain menatap teduh mata ini. Mata senja yang pada detik aku berkisah ini, berada disini. Namun kali ini, aku hanya terlalu takut untuk menatapnya, sesuatu yang membingungkan, aku merindukanya namun aku justru tak tau harus berbuat apa saat berhadapan dengannya. Dan senja tak pernah panjang, tak pernah ada tambahan waktu ketika aku ingin menikmati senja sedikit lebih lama. Aku tak tahu apakah benar bahwa waktu akan terasa singkat jika kita bersama sesuatu yang kita kagumi, atau senja memang waktu yang hanya seberapa tetes hujan.

Entahlah, mengapa aku justru mengacuhkan mata senja ini, mengapa aku justru mengisi lambung biduk ini dengan pikiran-pikiran lain, mengapa aku justru berfikir tentang ketakutan-ketakutan, mengapa aku justru teralihkan dan dirisaukan perasaan akan ketidakmampuanku untuk menggapainya, mengapa aku justru berkisah bukan malah menikmati senja yang hanya seberapa titik hujan ini.

Mengapa aku tidak menyimpan kisah ini saja, menyambang sang pekat malam yang menyesakkan baru kemudian aku berkisah kepadamu kawan. Tapi disinilah aku, masih dalam ombang-ambing debur ombak dermaga pulau ini. Dan mata senja ini telah hampir sirna seutuhnya oleh pekat malam yang mulai berdesakan. Dan disinilah aku lagi, masih terdampar dipulau ini, bimbang antara tinggal dan berjuang, atau kembali berlayar mengarungi lautan, mencari pulau lain. Dan malam telah sepenuhnya mengusir surya, disinilah aku, kembali hampa dan mati.

Related Posts:

  • Kepingan Pertama -- Dermagabelum cukup kering rasanya tetesan hujan yg melekat didaun daun talas ditepi sungai ini, masih melekat bayangan wanita itu disini. tempat dimana langit menghalangi langkahnya, membeli sedikit waktu yg dapat aku curi dari alam… Read More
  • Kepingan kedua -- PulauPerlahan rona jingga menyeruak mengikis kelam, mengigatkan bahwa malam tak mungkin abadi menyelimuti bumi, bahwa pekat harus pula berbagi dengan surya. Ombak telah jauh meninggalkan biduk kecil ini yang kini tergeletak tak ub… Read More
  • Kepingan Ketiga -- Mata SenjaSurya kembali meredup, merangkak perlahan menuju peraduan dan aku masih belum beranjak dari dermaga pulau ini.Limbung debur ombak yang mengayunkanku terbuai menatap mata senja tahta langit dengan selendang jingga yang terurai… Read More
  • Kepingan Keempat -- GelapHari telah menyapa penghujungnya, senja seharusnya telah tiba. Namun tidak, tidak ada senja hari ini, hanya gelap.Alam kembali muram, tanpa deru angin, tanpa debur ombak,hanya sepi.Bukankah sepi menenangkan? sama sekali tidak… Read More
  • Kepingan Kelima -- Biduk Tak BerdayungMalam masih terlalu panjang untuk dilalui dengan berdiam, maka biduk kecil ini kembali berkisah. Mengutuki alam yang kejam merenggut senja, menerobos memaksakan pekat malam menghampiri, menabur derasnya hujan. Gelombang laut… Read More

0 komentar:

Posting Komentar