Perlahan rona jingga menyeruak mengikis kelam, mengigatkan bahwa malam tak mungkin abadi menyelimuti bumi, bahwa pekat harus pula berbagi dengan surya. Ombak telah jauh meninggalkan biduk kecil ini yang kini tergeletak tak ubahnya batang kayu usang ditelantarkan waktu.
Malam telah berlalu, dan kini aku si biduk kecil tua ini akan kembali berkisah. Sekali ini tentang pulau dan deretan nyiur dengan pelepahnya sebagai selendang dewi muda, selendang yang selalu membuatku rindu untuk sesekali merapat pada pulau-pulau tak berpenghuni, untuk sekedar melepas lelah mengarungi lautan seorang diri. Aku tau tak selamanya biduk ini mampu mengarungi lautan dengan ombak yang begitu berkuasa, buduk kecil ini harus singgah dan berlabuh. Namun dimanakah pulau yang bersedia melandaikan pasirnya, menyibakkan karang kerasnya, agar biduk ini dapat berlabuh. Melapuk kemudian mati. Manakah pulau itu, yang akan mampu menjadi sandaran hingga ajal menjemput, tempat menuangkan seluruh kerak garam yang telah menjadi karang pada biduk kecil ini.
Kini aku terbangun kembali dari lamunan, berhenti sejenak sebelum melanjutkan berkisah. Lambaian selendang pulau ini kembali membela tubuh kaku biduk ini, seakan mengatakan agar aku berlabuh lebih lama lagi, agar aku mengurungkan niat untuk menginggalkanya. Dan kini aku lupa telah sampai dimana, dan aku pun lupa mengapa aku ingin meninggalkanya.
Sejenak kemudian, debur ombak pasang menggoyahkan batinku. Bukan, bukan untuk menguatkan niat berlabuh, tetapi mengingatkan aku alasan mengapa ingin berlayar meninggalkan persinggahan indah pulau ini. Ya, pulau ini bukan lagi pulau yang tak berpenghuni. Ia telah dimiliki, dan aku, seberapapun besar ombak yang akan menyambutku nanti, seberapapun keras angin menghembuskanku kembali ke pelukan nyiur pulau ini. Aku tak akan mampu menafikan kehendak alam, bahwa aku harus berlalu. Bahwa ini bukan tempat persinggahan terakhirku, bahwa ini hanyalah sebagai pulau-pulau singgah, bukan pulau yang aku cari, bukan pulau yang kuhendaki menjadi tempat pelabuhan terakhirku, atau harus kukatakan bukan pulau yang menginginkanku untuk tinggal.
Tetapi lagi, aku mungkin hanya akan berbaring ditepi pantai pulau ini untuk sesaat, mungkin untuk beberapa hujan lagi..
Aku kembali ragu....
Kepingan kedua -- Pulau
Related Posts:
Kepingan Kelima -- Biduk Tak BerdayungMalam masih terlalu panjang untuk dilalui dengan berdiam, maka biduk kecil ini kembali berkisah. Mengutuki alam yang kejam merenggut senja, menerobos memaksakan pekat malam menghampiri, menabur derasnya hujan. Gelombang laut… Read More
Kepingan Pertama -- Dermagabelum cukup kering rasanya tetesan hujan yg melekat didaun daun talas ditepi sungai ini, masih melekat bayangan wanita itu disini. tempat dimana langit menghalangi langkahnya, membeli sedikit waktu yg dapat aku curi dari alam… Read More
Kepingan Ketiga -- Mata SenjaSurya kembali meredup, merangkak perlahan menuju peraduan dan aku masih belum beranjak dari dermaga pulau ini.Limbung debur ombak yang mengayunkanku terbuai menatap mata senja tahta langit dengan selendang jingga yang terurai… Read More
Kepingan Keempat -- GelapHari telah menyapa penghujungnya, senja seharusnya telah tiba. Namun tidak, tidak ada senja hari ini, hanya gelap.Alam kembali muram, tanpa deru angin, tanpa debur ombak,hanya sepi.Bukankah sepi menenangkan? sama sekali tidak… Read More
Kepingan kedua -- PulauPerlahan rona jingga menyeruak mengikis kelam, mengigatkan bahwa malam tak mungkin abadi menyelimuti bumi, bahwa pekat harus pula berbagi dengan surya. Ombak telah jauh meninggalkan biduk kecil ini yang kini tergeletak tak ub… Read More
0 komentar:
Posting Komentar